Rabu, 14 November 2012

Biografi Eduard Douwes Dekker

Multatuli adalah nama samaran Eduard Douwes Dekker. Sr, lahir tahun 1820 di Amsterdam. Berasal dari keluarga Protestant sederhana. Dia dikirim ayahnya sekolah pendeta tahun 1832 di Latinje School, tidak selesai kemudian dia mencoba bekerja tapi di-PHK. Ayahnya yang kapten kapal mengantarnya ke Hindia Belanda ketika berusia 18 tahun, bekerja di Dewan Pengawas Keuangan di Batavia. Amtenaar muda ini walau berprestasi dalam kerja, harus meninggalkan pekerjaan karena stress berat diputuskan seorang gadis Catholic, Caroline Versteegh. Sifat royal karena masa kecil yang kekurangan, menjadi penyebab ayah gadis londo itu menolak pinangannya.

Tahun 1842, meminta dipindahkan ke Sumatera Barat yang masih ada pergolakan, dibawah pimpinan Jenderal Michiels, bulan Juli 1842, dia ditempatkan di Natal sebagai kontrolir, jabatan yang menyibukkan dan harus banyak bertemu dengan penduduk setempat. Setahun kemudian dia dipecat Jenderal itu karena administrasi keuangan jebol, di Padang Hulu, dia di tahan rumah-kan, dan dipaksa mengganti kerugian itu. Setahun kemudian dia kembali ke Batavia, tahun berikutnya ditugaskan di gubernemen Kerawang, Bagelan, Menado dan tahun 1851 menjadi asisten residen di Ambon, tapi dia sakit keras kemudian. Dia menikahi Everdine Huberte van Wijnbergen alias Tine.

Tahun 1852 dia kembali ke Belanda untuk cuti pertama, dan memperoleh anak pertama. Sifat borosnya selalu menyebabkan kesulitan baginya. Mei 1855 dia sekeluarga kembali ke Hindia, diterima Gubernur Jenderal Duymer van Twist, ditugaskan ke Lebak, Banten, sebagai asisten residen. Dia sangat mencintai bumiputera. Setelah cukup adaptasi dengan Rangkas Bitung, dia mulai membongkar kasus-kasus juga menemukan banyak kesewenangan dan penindasan dari Bupati, Demang (menantu bupati). Ternyata pejabat sebelumnya juga tertendang karena mencoba membongkar kasus itu. Kesulitan menemukan bukti-bukti yang bisa membongkar kasus itu. Ketika tanam paksa telah berlaku diseluruh Hindia Belanda. Dalam sistem pemerintahan ketika itu, residen hanya sebagai atasan para menak, namun tidak punya akses ke masyarakat.

Bupati Lebak Raden Adipati Karta Nata Nagara bersama menantunya, Demang Parangkujang sangat sewenang-wenang, sampai untuk membersihkan pekarangan kediaman mereka saja mengambil penduduk dari berbagai desa, sementara pemerintahan kolonial sangat keberatan karena jumlah pekerja itu dibutuhkan untuk tanam paksa. Hal ini dilaporkan ke atasannya Residen Brest van Kempen, yang kemudian diteruskan ke Gubernur Jenderal. Apa dinyana, dia malah ditegur dan dianggap tidak becus. Multatuli sangat marah karena reaksi yang tak sesuai dengan apa yang dibayangkannya, Dia mengajukan pengunduran diri, dan diluluskan. Setelah dia pergi, kasus di bongkar dan semua kaki tangan penindas dari bupati diberhentikan dengan tidak hormat. Orang jujur ini sangat mencintai keadilan walau dia juga seorang boros.

Sebenarnya kasus tersingkirnya Multatuli adalah akibat dari sistem dualisme kekuasaan antara bupati dengan residen, penggantian seorang bupati dapat menimbulkan gejolak baru, sementara itu pemerintah Hindia sedang mengalami defisit keuangan karena perang melelahkan dengan Pangeran Diponegoro dan kaum paderi. Sementara menurut tata pemerintahan dan pergaulan di Lebak kala itu, cara Multatuli memulangkan pekerja-pekerja yang membersihkan pekarangan rumah bupati dianggap kurang ajar oleh norma-norma di Jawa.

April 1857, Dekker sendiri kembali ke Eropa, tahun 1859 keluarganya menyusul. Di suatu losmen di Brussel, dia menuliskan kasus itu kedalam sebuah buku, sebagai protes, Max Havelaar (Aku telah banyak menderita). Dwi fungsi dari buku itu adalah untuk diakhirinya pemerasan dan dikembalikan kehormatan rakyat jelata di Jawa; dan nama baiknya dipulihkan.

Penerbit yang sangat terkenal kala itu Jacob van Lennep telah menduga buku itu adalah sebuah mahakarya, tapi disimpan dan diterbitkan pelan karena takut mengguncang, makanya semua nama tempat, angka tahun diganti dengan tanda baca titik-titik. Mei 1860 buku ini menjadi best- seller di Eropa walau lambat diterima masyarakat disana. Dia yang telah menjadi pujangga besar, kemudian mengeluarkan buku lain seperti Minnebrieven (surat-surat cinta); Wouterje Pieterse ( sejarah masa kecil) dan Ideen.

Dalam Ideen, Multatuli bersuara keras: melawan kesewenang-wenangan; pembelaan terhadap kaum teraniaya; kritik keras terhadap kekuasaan agama, adat dan politik, yang sering kali disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Dekker membela buruh industri, mempertanyakan dogma agama yang disetir, emansipasi kaum wanita dan adat kesopanan yang dibungkus dengan keindahan tapi busuk didalamnya. Bagi Multatuli, martabat manusia harus sama, “ panggilan manusia ialah mewujudkan sebagai manusia”.

Dia tidak akrab dengan keluarganya, sampai istrinya Tine wafat tahun 1874, kemudian dia menikah lagi dan tinggal di Nieder-Ingelheim, Jerman dan wafat disana 18 Februari 1887.

Orang ini banyak menggunakan keuangan pemerintahan kolonial di Natal dan Padang untuk membantu bumiputera. Menyumbang dana juga dari kantung pribadi untuk kemajuan pendidikan di madrasah dan pesantren. Dekker banyak membantu perselisihan dan persengketaan antar pribumi dengan sesama pribumi, pedagang/saudagar bangsa lain dan pemerintah kolonial. Tentu saja pucuk pimpinan sangat berang dengan cara yang dilakukan oleh Multatuli. Keterpihakannya kepada bumiputera menjadi bumerang yang menghancurkan karir gemilangnya di pemerintahan kolonial Belanda.

Sedikit tidaknya jasa Multatuli, beberapa pihak dimasa silam yang tersamar, menganggap kegemilangan idenya, membantu menjadikan ranah Minangkabau dan Mandailing, pemasok tokoh-tokoh perintis dan penggerak berkaliber hebat, yang kelak sangat menentukan nasib Hindia Belanda. Bisa disebutkan nama-nama seperti: Kyai Hai Ahmad Dahlan, Agus Salim dll yang diteruskan generasi Datoek Tan Malaka dsb kemudian lahir lagi angkatan Moehammad Hatta, Soetan Syahrir, Moehammad Yamin, Mr. Moh. Roem, Syarifoeddin Prawiranegara, Soetan Takdir Alisjhabana, HB Yassin dll. Mereka ini adalah 'buah' dari 'biji' yang ditabur oleh Multatuli. Ini merupakan benang merah yang selalu dicoba dihilangkan dan dilupakan. Mungkin karena Mutatuli bukan orang Indonesia asli, bukan Muslim dan mewakili kaum penjajah.

Sistem kerja tanam paksa (Culturstelsel) yang kala itu diberlakukan, terang-terangan dibencinya. Sistem tanam paksa adalah pemerasan yang terkeji dari penjajah kepada bumiputera dengan memaksakan tiap orang untuk menanamkan beberapa jenis tanaman komoditas, yang kala itu sangat tinggi sekali harganya di pasar dunia. Komoditas ini antara lain: kopi, teh, cengkeh, pala, tembakau, kakao dsb. Setiap pribumi Hindia Belanda diwajibkan untuk menyediakan sebagian lahannya menanam komoditas tersebut atau menjadi buruh kerja di lahan yang disediakan oleh kolonial. Setelah itu, bumiputera baru dipersilahkan mengurusi perut sendiri. Sistem ini dianggap penghisapan yang paling keji, dan sangat tidak ber-perikemanusian dari bangsa yang merasa paling beradab dan mengaku mengikuti cinta-kasih Kristus.

Melalui bukunya Max Havelaar, Multatuli membongkar perilaku busuk penjajah Belanda di muka umum. Bola liar yang dilemparkan Multatuli melalui Max Havelaar, kelak merubah cara pandang penjajah Belanda pada khususnya dan dunia pada umumnya terhadap bumiputera. Pemerintah kerajaan Belanda sangat tertampar dengan perang pena ini. Bumiputera tidak lagi dianggap sebagai kasta yang lebih rendah dari binatang di negerinya sendiri. Efek dari bola liar yang dilempar oleh Multatuli juga dirasakan oleh negara-negara lain yang terjajah, seperti di Asia dan Afrika. Di Afrika Selatan lahir kaum de Boer.

Kelak lahirlah suatu aksi balas budi yang dicetuskan di Belanda, kelak dinamakan Politik Etis. Kaum bumiputera diberikan kesempatan, walau awalnya dari kaum menak dan berduit, untuk merasakan pendidikan. Tapi bangsa Indonesia patut berterima kasih kepada Multatuli atas jasanya ini. Karena dengan dibukanya keran itu, lahirlah kelak tokoh-tokoh hebat yang menjadi pelopor; Setelah dibukanya sekolah dokter STOVIA, antara lain: Dr. Wahidin Soediro Hoesodo, dr. Goenawan, R.A Kartini, R.M. Tirto Adhi Soeryo, Cipto Mangoenkoesoemo, H.O.S. Cokroaminoto, Haji Samanhoedi, Ki Hajar Dewantoro, Dewi Sartika, Iwa Koeseoma Soemantri dll. Dari pelopor ini lahir lagi tokoh-tokoh lainnya yang tak kalah dahsyatnya seperti : Ir. Soekarno, Sartono, Siti Soendari R.D, Mr Soepomo dll.
Add caption

Diseluruh kota-kota di pulau Jawa atau Sumatera dan pulau-pulau lainnya, jarang sekali kita temukan nama jalan yang diambil dari nama besarnya. Bahkan nama gedung atau tempat prestisius bangsa Indonesia tidak ada yang memakai nama Multatuli, jasanya terkesan dilupakan dan hilang perlahan. Di Bandung ada nama jalan dr. Sethiaboedi, nama yang diambil dari putranya Multatuli. Nama yang digunakan putranya sebagai nama baptis baru setelah memilih jadi bumiputera. Selayaknya, namanya diletakkan disuatu tempat terhormat, untuk mengenang nama Multaltuli, agar generasi yang akan datang tahu, bahwa sebenarnya Indonesia adalah bangsa yang tahu cara berterima kasih, walau telah terlambat. Edward Douwes Dekker Sr, alias Multatuli wajar mendapat bintang jasa dari pemerintah Indonesia, walau dia 'orang asing', tapi dalam darah, hati dan tulangnya...ada Indonesia, semoga...Amien!

Biografi SM Kartosuwirjo

Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo demikian nama lengkap dari Kartosoewiryo, dilahirkan 7 Januari 1907 di Cepu, sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Kota Cepu ini menjadi tempat di mana budaya Jawa bagian timur dan bagian tengah bertemu dalam suatu garis budaya yang unik. Ayahnya, yang bernama Kartosuwiryo bekerja sebagai mantri pada kantor yang mengkoordinasikan para penjual candu di kota kecil Pamotan, dekat Rembang. Pada masa itu mantri candu sederajat dengan jabatan Sekretaris Distrik. Dalam posisi inilah, ayah Kartosoewiryo, mempunyai kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu, menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan garis sejarah anaknya. Kartosuwiryo, pun kemudian mengikuti tali pengaruh ini hingga pada usia remajanya.
Dengan kedudukan istimewa orang tuanya serta makin mapannya “gerakan pencerahan Indonesia” ketika itu, Kartosuwiryo dibesarkan dan berkembang. Ia terasuh di bawah sistem rasional Barat yang mulai dicangkokkan Belanda di tanah jajahan Hindia. Suasana politis ini juga mewarnai pola asuh orang tuanya yang berusaha menghidupkan suasana kehidupan keluarga yang liberal. Masing-masing anggota keluarganya mengembangkan visi dan arah pemikirannya ke berbagai orientasi. Ia mempunyai seorang kakak perempuan yang tinggal di Surakarta pada tahun 50-an yang hidup dengan penuh keguyuban, dan seorang kakak laki-laki yang memimpin Serikat Buruh Kereta Api pada tahun 20-an, ketika di Indonesia terbentuk berbagai Serikat Buruh.
Pada tahun 1911, saat para aktivis ramai-ramai mendirikan organisasi, saat itu Kartosuwiryo berusia enam tahun dan masuk Sekolah ISTK (Inlandsche School der Tweede Klasse) atau Sekolah “kelas dua” untuk kaum Bumiputra di Pamotan. Empat tahun kemudian, ia melanjutkan sekolah ke HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Rembang. Tahun 1919 ketika orang tuanya pindah ke Bojonegoro, mereka memasukkan Kartosoewirjo ke sekolah ELS (Europeesche Lagere School). Bagi seorang putra “pribumi”, HIS dan ELS merupakan sekolah elite. Hanya dengan kecerdasan dan bakat yang khusus yang dimiliki Kartosoewirjo maka dia bisa masuk sekolah yang direncanakan sebagai lembaga pendidikan untuk orang Eropa dan kalangan masyarakat Indo-Eropa.
Semasa remajanya di Bojonegoro inilah Kartosuwiryo mendapatkan pendidikan agama dari seorang tokoh bernama Notodihardjo yang menjadi “guru” agamanya. Dia adalah tokoh Islam modern yang mengikuti Muhammadiyah. Tidak berlebihan ketika itu, Notodihardjo sendiri kemudian menanamkan banyak aspek kemodernan Islam ke dalam alam pikir Kartosuwiryo Pemikiran-pemikirannya sangat mempengaruhi bagaimana Kartosuwiryobersikap dalam merespon ajaran-ajaran agama Islam. Dalam masa-masa yang bisa kita sebut sebagai the formative age-nya.
Pada tahun 1923, setelah menamatkan sekolah di ELS, Kartosoewirjo pergi ke Surabaya melanjutkan studinya pada Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Sekolah Kedokteran Belanda untuk Pribumi. Pada saat kuliah inilah (l926) ia terlibat dengan banyak aktivitas organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Surabaya.
Selama kuliah Kartosuwiryo mulai berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Islam. Ia mulai “mengaji” secara serius. Saking seriusnya, ia kemudian begitu “terasuki” oleh shibghatullah sehingga ia kemudian menjadi Islam minded. Semua aktivitasnya kemudian hanya untuk mempelajari Islam semata dan berbuat untuk Islam saja. Dia pun kemudian sering meninggalkan aktivitas kuliah dan menjadi tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh sekolah Belanda, tentunya setelah ia mengkaji dan membaca banyak buku-buku dari berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu-ilmu sosial dan politik.
Dengan modal ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak sedikit itu, ditambah ia juga memasuki organisasi politik Sjarikat Islam di bawah pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto banyak mempengaruhi sikap, tindakan dan orientasi Kartosuwirjo. Maka setahun kemudian, dia dikeluarkan dari sekolah karena dituduh menjadi aktivis politik, dan didapati memiliki sejumlah buku sosialis dan komunis yang diperoleh dari pamannya yaitu Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal pada zamannya. Sekolah tempat ia menimba ilmu tidak berani menuduhnya karena “terasuki” ilmu-ilmu Islam, melainkan dituduh “komunis” karena memang ideologi ini sering dipandang sebagai ideologi yang akan membahayakan. Padahal ideologi Islamlah yang sangat berbahaya bagi penguasa yang zhalim. Tidaklah mengherankan, kalau Kartosuwirjo nantinya tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kesadaran politik sekaligus memiliki integritas keislaman yang tinggi. Ia adalah seorang ulama besar, bahkan kalau kita baca tulisan-tulisannya, kita pasti akan mengakuinya sebagai seorang ulama terbesar di Asia Tenggara.


Aktivitas Kartosuwiryo

Semenjak tahun 1923, dia sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di antaranya gerakan pemuda Jong Java. Kemudian pada tahun 1925, ketika anggota-anggota Jong Java yang lebih mengutamakan cita-cita keislamannya mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB). Kartosoewirjo pun pindah ke organisasi ini karena sikap pemihakannya kepada agamanya. Melalui dua organisasi inilah kemudian membawa dia menjadi salah satu pelaku sejarah gerakan pemuda yang sangat terkenal, “Sumpah Pemuda”.
Selain bertugas sebagai sekretaris umum PSIHT (Partij Sjarikat Islam Hindia Timur), Kartosuwiryo pun bekerja sebagai wartawan di koran harian Fadjar Asia. Semula ia sebagai korektor, kemudian diangkat menjadi reporter. Pada tahun 1929, dalam usianya yang relatif muda sekitar 22 tahun,Kartosuwiryo telah menjadi redaktur harian Fadjar Asia. Dalam kapasitasnya sebagai redaktur, mulailah dia menerbitkan berbagai artikel yang isinya banyak sekali kritikan-kritikan, baik kepada penguasa pribumi maupun penjajah Belanda.
Ketika dalam perjalanan tugasnya itu dia pergi ke Malangbong. Di sana bertemu dengan pemimpin PSIHT setempat yang terkenal bernama Ajengan Ardiwisastera. Di sana pulalah dia berkenalan dengan Siti Dewi Kalsum putri Ajengan Ardiwisastera, yang kemudian dinikahinya pada bulan April tahun 1929. Perkawinan yang sakinah ini kemudian dikarunia dua belas anak, tiga yang terakhir lahir di hutan-hutan belantara Jawa Barat. Begitu banyaknya pengalaman telah menghantarkan dirinya sebagai aktor intelektual dalam kancah pergerakan nasional.
Pada tahun 1943, ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Kartosoewirjo kembali aktif di bidang politik, yang sempat terhenti. Dia masuk sebuah organisasi kesejahteraan dari MIAI (Madjlis Islam ‘Alaa Indonesia) di bawah pimpinan Wondoamiseno, sekaligus menjadi sekretaris dalam Majelis Baitul-Mal pada organisasi tersebut.
Dalam masa pendudukan Jepang ini, dia pun memfungsikan kembali lembaga Suffah yang pernah dia bentuk. Namun kali ini lebih banyak memberikan pendidikan kemiliteran karena saat itu Jepang telah membuka pendidikan militernya. Kemudian siswa yang menerima latihan kemiliteran di Institut Suffah itu akhirnya memasuki salah satu organisasi gerilya Islam yang utama sesudah perang, Hizbullah dan Sabilillah, yang nantinya menjadi inti Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat.
Pada bulan Agustus 1945 menjelang berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia, Kartosuwiryo yang disertai tentara Hizbullah berada di Jakarta. Dia juga telah mengetahui kekalahan Jepang dari sekutu, bahkan dia mempunyai rencana: kinilah saatnya rakyat Indonesia, khususnya umat Islam, merebut kemerdekaannya dari tangan penjajah. Sesungguhnya dia telah memproklamasikan kemerdekaan pada bulan Agustus 1945. Tetapi proklamasinya ditarik kembali sesudah ada pernyataan kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Untuk sementara waktu dia tetap loyal kepada Republik dan menerima dasar “sekuler”-nya.
Namun sejak kemerdekaan RI diproklamasikan (17 Agustus 1945), kaum nasionalis sekulerlah yang memegang tampuk kekuasaan negara dan berusaha menerapkan prinsip-prinsip kenegaraan modern yang sekuler. Semenjak itu kalangan nasionalis Islam tersingkir secara sistematis dan hingga akhir 70-an kalangan Islam berada di luar negara. Dari sinilah dimulainya pertentangan serius antara kalangan Islam dan kaum nasionalis sekuler. Karena kaum nasionalis sekuler mulai secara efektif memegang kekuasaan negara, maka pertentangan ini untuk selanjutnya dapat disebut sebagai pertentangan antara Islam dan negara.
Situasi yang kacau akibat agresi militer kedua Belanda, apalagi dengan ditandatanganinya perjanjian Renville antara pemerintah Republik dengan Belanda. Di mana pada perjanjian tersebut berisi antara lain gencatan senjata dan pengakuan garis demarkasi van Mook. Sementara pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia, maka menjadi pil pahit bagi Republik. Tempat-tempat penting yang strategis bagi pasukannya di daerah-daerah yang dikuasai pasukan Belanda harus dikosongkan, dan semua pasukan harus ditarik mundur –atau “kabur” dalam istilah orang-orang DI– ke Jawa Tengah. Karena persetujuan ini, Tentara Republik resmi dalam Jawa Barat, Divisi Siliwangi, mematuhi ketentuan-ketentuannya. Soekarno menyebut “kaburnya” TNI ini dengan memakai istilah Islam, “hijrah”. Dengan sebutan ini dia menipu jutaan rakyat Muslim. Namun berbeda dengan pasukan gerilyawan Hizbullah dan Sabilillah, bagian yang cukup besar dari kedua organisasi gerilya Jawa Barat, menolak untuk mematuhinya. Hizbullah dan Sabilillah lebih tahu apa makna “hijrah” itu.
Pada tahun 1949 Indonesia mengalami suatu perubahan politik besar-besaran. Pada saat Jawa Barat mengalami kekosongan kekuasaan, maka ketika itu terjadilah sebuah proklamasi Negara Islam di Nusantara, sebuah negeri al-Jumhuriyah Indonesia yang kelak kemudian dikenal sebagai ad-Daulatul Islamiyah atau Darul Islam atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai DI/TII. DI/TII di dalam sejarah Indonesia sering disebut para pengamat yang fobi dengan Negara Islam sebagai “Islam muncul dalam wajah yang tegang.” Bahkan, peristiwa ini dimanipulasi sebagai sebuah “pemberontakan”. Kalaupun peristiwa ini disebut sebagai sebuah “pemberontakan”, maka ia bukanlah sebuah pemberontakan biasa. Ia merupakan sebuah perjuangan suci anti-kezhaliman yang terbesar di dunia di awal abad ke-20 ini. “Pemberontakan” bersenjata yang sempat menguras habis logistik angkatan perang Republik Indonesia ini bukanlah pemberontakan kecil, bukan pula pemberontakan yang bersifat regional, bukan “pemberontakan” yang muncul karena sakit hati atau kekecewaan politik lainnya, melainkan karena sebuah “cita-cita”, sebuah “mimpi” yang diilhami oleh ajaran-ajaran Islam yang lurus.
Akhirnya, perjuangan panjang Kartosuwiryo selama 13 tahun pupus setelah Kartosoewirjo sendiri tertangkap. Pengadilan Mahadper, 16 Agustur l962, menyatakan bahwa perjuangan suci Kartosoewirjo dalam menegakkan Negara Islam Indonesia itu adalah sebuah “pemberontakan”. Hukuman mati kemudian diberikan kepada mujahid Kartosuwiryo
Tentang kisah wafatnya Kartosoewirjo, ternyata Soekarno dan A.H. Nasution cukup menyadari bahwa Kartosoewirjo adalah tokoh besar yang bahkan jika wafat pun akan terus dirindukan umat. Maka mereka dengan segala konspirasinya, didukung Umar Wirahadikusuma, berusaha menyembunyikan rencana jahat mereka ketika mengeksekusi Imam Negara Islam ini.
Sekalipun jasad beliau telah tiada dan tidak diketahui di mana pusaranya berada karena alasan-alasan tertentu dari pemerintahan Soekarno, tapi jiwa dan perjuangannya akan tetap hidup sepanjang masa. Sejarah Indonesia telah mencatat walaupun dimanipulasi dan sekarang bertambah lagi dengan darah mujahid Asy-syahid S.M. Kartosoewirjo. HARI INI KAMI MENGHORMATIMU, BESOK KAMI BERSAMAMU! Insya Allah. Itulah makna dari firman Allah: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu mati); bahkan sebenarnya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya”. (QS. 2:154). CAPUNK/ KN

Biografi Singkat D. N. Aidit

Memahami peranan D.N Aidit, dalam konstelasi politik Orde Soekarno tidaklah sulit. Aidit dapat kita kenal dalam lembaran sejarah Orde Soeharto sebagai seorang tokoh penting dalam PKI. Selain itu ia dikenal dekat Sukarno dan juga diduga menjadi otak intelektual terjadinya peristiwa G 30 S. Akan tetapi pemaparan Aidit sebagai bagian konstruksi sejarah politik di Indonesia, tentunya agak sedikit menyulitkan. Terutama karena tokoh Aidit selama kurun 32 tahun telah sedemikian rupa didistorsikan sebagai simbolisme negativa ketokohan politik di Indonesia. Sehingga terjadi kesulitan menjelaskan mengenai peran sejarah tokoh ini pada “apa yang ada pada realita historisnya sendiri”.
Walaupun ia adalah tokoh penting dalam kesejarahan Indonesia, seluruh kehidupan D.N Aidit tampak, masih sebagai sebuah teka-teki yang urung terselesaikan. Aidit memulai karir politiknya sejak awal bersama ideology komunis yang diyakininya. Aidit pun mati ditembak oleh sekawanan tentara “Pancasilais”, karena ideologinya yang komunis serta tuduhan makar tanpa adanya proses peradilan.
Tulisan ini sedikitnya ingin berupaya memberi gambaran selintas mengenai sang tokoh. Terutama mengenai perjalanan sejarah tokoh Aidit secara ideologis. Dalam hal ini Aidit dilihat sebagai seorang tokoh penting PKI yang menjalankan arah kebijakan Partai Komunis itu hingga dihancurkan dalam tragedy Gestok. .
Masa Muda Aidit
Soegiarso Soerojo menyebutkan bahwa nama lengkap D.N Aidit sebenarnya bukanlah Dipa Nusantara Aidit yang sebagaimana kita kenal luas. Melainkan nama sebenarnya adalah Djafar Nawawi, anak haji Aidid dari bangka. Tak begitu jelas bagaimana Aidit menghabiskan masa kecilnya, yang pasti sebagaimana anak desa kebanyakan ia bergaul dengan teman sebayanya, setiap sore pergi mengaji dan ketika malam tidur di Surau. Latar belakang demikian, justru memberi jejak asal-muasal yang kontras bagi pribadinya, ketika kelak ia menjadi petinggi partai komunis, yang justru sering dianggap anti-Tuhan.
Ketika menginjak usia remaja, pemuda Aidit pergi merantau ke Jawa. Di Jawa ia berguru kepada tokoh pergerakan islam terkemuka, H.O.S Tjokrominoto. Tjokro, banyak mengajarkan sebuah hal-hal yang selama ini jauh dari ia bayangkan. Kesenjangan antara kelompok kaya-miskin, persoalan kolonialisme dan cita-cita kemerdekaan secara utuh adalah tema-tema pelajaran yang cukup mempengaruhi Aidit. Konon, dari Tjokro-lah Aidit mengenal dan meyakini komunis sebagai ideology politik yang cocok baginya. Patut diingat bahwa dari Tjokro juga lahir cabang gerakan ideology lainnya: Soekarno yang nasionalis dan Kartosuwiryo yang islamis. Sehingga kita dapat saksikan bahwa antara, Soekarno, Kartosuwiryo dan Aidit (baca: Nasakom), sesungguhnya bermuara kepada satu sumber yang sama (?).
Menjelang pecahnya revolusi agustus 1945, Aidit adalah salah seorang tokoh terkemuka pemuda menteng 31. Bersama Chaerul Saleh, Adam Malik, Wikana, A.M Hanafi dan Soekarni, ia adalah tokoh yang cukup aktif dalam menekan tokoh-tokoh angkatan tua untuk mendeklarasikan proklamasi.
Seusai proklamasi, sehubungan dengan anjuran berdirinya partai-partai akibat maklumat X Hatta maka berdirilah Partai Komunis Indonesia (PKI). sifat kepemudaan yang revolusioner serta ideology partai yang dianggap sepaham dengan keyakinan individualnya, membawa Aidit memasuki Partai Komunis Indonesia tersebut. Peran Aidit dalam partai, antara 1945 hingga dihancurkannya PKI dalam peristiwa Madiun 1948 tidaklah begitu banyak. Tak begitu dikenal bagaimana kehidupan Aidit antara masa-masa ini, selain daripada ia dicatat sering menghadiri rapat-rapat yang diadakan PKI. Yang pasti, ketika PKI dihancurkan pada 1948, Aidit berhasil lolos dari kejaran tentara Hatta dan kemudian menyingkir keluar negeri guna menimba ilmu (Peking?).
Aidit, PKI dan Demokrasi Terpimpin
Ketika kembali ke Indonesia pada awal 1950-an. Situasi Indonesia sudah sejak jauh berbeda. Sukarno membuka pemahaman rekonsiliasi terhadap seluruh komponen yang ada dalam kehidupan bernegara dari kelompok ideology manapun, untuk mempertahankan bersama keutuhan dan kemerdekaan negeri ini dari rongrongan neo-kolonialisme dan imperialisme (Nekolim). Anjuran Sukarno tersebut, membuka ruang bagi tokoh-tokoh PKI muda untuk membangun kembali organisasinya. PKI yang sempat dibangun oleh tokoh tua, Alimin dan Pono. Kemudian berhasil direbut oleh tokoh yang lebih muda: Aidit, Nyono, Waluyo dan lain lain. Jabatan tertinggi dalam kepartaian yaitu Sekretaris Djendral dipegang oleh D.N Aidit.
Dibawah pimpinan D.N Aidit, PKI mulai menggalakkan kembali membangun kinerja organisasinya. PKI menjelaskan kepada komponen bangsa lainnya bahwa partainya adalah partai kader yang mengedepankan Indonesia yang bermartabat. Aidit amat rajin membangun organisasinya secara sistematis, dengan masa garapannya meliputi masa tani dan buruh terutama yang berasal dari status sosial menengah-kebawah. Secara khusus Aidit menyebut partainya sebagai partai ploretariat, partainya rakyat banyak. Untuk membela partainya terhadap cemoohan peristiwa madiun 1948. Aidit kemudian menulis pembelaan partainya lewat tulisan Menggugat peristiwa Madiun, sebuah tulisan yang isinya menyebutkan bahwa saat itu PKI adalah pihak yang diprovokasi oleh Hatta dan menjadi korban (bukan pelaku!).
Lewat pola pengorganisasian yang rapi dan terkoordinasi, PKI dengan cepat dapat memperluas keanggotaannya. Terlebih, ketika itu PKI adalah satu-satunya partai yang selalu mengambil bagian terdepan untuk membela kepentingan masyarakat yang termarjinalkan, sebagaimana issue land reform yang menjadi issue utamanya pada era 60-an. Selain itu dukungan secara tidak langsung Sukarno terhadap partai ini, membuat daya tarik sendiri bagi masyarakat luas. Secara garis besar dukungan atau simpati Sukarno tampak, karena PKI lah satu-satunya partai yang terdepan dalam mendukung setiap kebijakan presiden.
Aidit, pada akhirnya terbujuk untuk berpartisipasi melakukan kolaborasi dengan Sukarno. Ada kesan bahwa Aidit telah terbentur kepada kepentingan pragmatis (yang tergesa-gesa) untuk membangun partai. Secara ideologis, Soekarno atau PNI merepresentasikan basis kepentingan borjuasi nasional yaitu kelompok priyayi jawa-abangan, yang dalam teoritisi marx termasuk dalam kelompok lawan yang harus dihantam. Dengan demikian, terjadi perselingkungan ideologis Aidit terhadap Marx, karena Aidit bertindak bersekutu dengan kelompok non-ploretar. Aidit tentu saja memiliki sandaran argumentasi ideologis pada basis teori Lenin mengenai revolusi dua tahap yaitu melawan imperialisme dan kapitalisme. Untuk sementara dalam melawan kekuatan Nekolim maka kompromi dengan kekuatan borjuasi nasional dibolehkan, demikian interpretasi Aidit.
Secara meyakinkan apa yang dilakukan Aidit menuai keberhasilan dalam PEMILU 1955. PKI dibawah Aidit telah membuktikan bahwa partainya menjadi salah satu dari empat kekuatan besar di Indonesia, mengalahkan PSI Sjahrir, IPKI-nya Nasution atau Murba warisan Tan Malaka. Hasil ini secara meyakinkan kembali meningkat dalam PEMILU 57, dimana didaerah jawa PKI mendapat suara peringkat pertama mengalahkan PNI, NU dan. Masjumi.
Hasil ini membuat Sukarno memaksa partai lain bahwa diperlukannya strategi pembangunan tiga kaki yang berlandaskan pada ajaran Nasakom. Untuk itu PKI sebagai bagian kekuatan empat besar, kiranya berhak untuk menduduki kursi dalam pemerintahan. Sebuah tawaran yang kemudian mendapat tanggapan sengit dari pihak islam (NU dan Masyumi). Padahal maksud Sukarno untuk memasukkan PKI dalam pemerintahan, justru secara ekonomis, sangat tidak menguntungkan partai. Sukarno ingin memaksa PKI turut bertanggung-jawab dalam pemerintahan. Sehingga PKI kelak tidak memiliki alasan untuk melakukan aksi makar atau aksi pemogokan buruh, yang dapat merugikan atau mengurangi kewibawaaan pemerintah. Ketika pada akhirnya PKI dimasukkan dalam struktur kabinet, hasil ini terlihat, karena PKI tidak diberikan kursi kabinet yang singnifikan atau menguntungkan secara ekonomi.
Menjelang 65, kekuatan PKI dan Aidit, bisa dikatakan sudah berada diatas angin. Musuh ideologis yang non-kompromis terhadap mereka yaitu PSI, Masyumi dan Murba sudah dibubarkan. Dengan demikian jalan perebutan kekuasaan secara kompromis lewat parlemen yang legal, amat terbuka lebar bagi PKI. Apalagi saat itu Presiden Soekarno bertindak seakan-akan pelindung bagi PKI. Baik itu lewat konsepsi revolusi dua tahapnya, ataupula lewat proyek Dwikora dan konfrontasi dengan blok kapitalis yang semakin menjadi-jadi.
Posisi PKI yang saat itu sudah amat diuntungkan, akhirnya berakhir dengan peristiwa G 30 S. Peristiwa G 30 S yang diduga atau dituduhkan dilakukan oleh PKI, anehnya justru berdampak buruk bagi perkembangan PKI sendiri. Peristiwa ini menjadi alasan bagi penghancuran serta pembunuhan terorganisir kader dan simpatisan PKI oleh tentara. Dan terbesar tentunya bagi pemarjinalan secara politis PKI dari panggung politik di Indonesia untuk selamanya.
Aidit sebagai tokoh nomer wahid PKI, tak lepas dari proses penghancuran itu. Walau keterlibatannya tidak secara jelas dapat dibuktikan oleh lembaga peradilan -karena semuanya masih samar-. Tokoh kemerdekaan dan pembangunan Indonesia yang demokratis-kerakyatan itu, akhirnya harus merelakan darahnya menjadi tumbal bangsanya ditangan tentara pancasila. Aidit harus rela menyusul amir Syarifuddin, Maruto Darusman, Musso, orang-orang yang menjadi panutan dan telah mendahuluinya ditangan tentara. Ada orang yang bergembira atas kematiannya, ada juga yang menangisinya.