Dengan kedudukan istimewa orang tuanya
serta makin mapannya “gerakan pencerahan Indonesia” ketika itu,
Kartosuwiryo dibesarkan dan berkembang. Ia terasuh di bawah sistem
rasional Barat yang mulai dicangkokkan Belanda di tanah jajahan Hindia.
Suasana politis ini juga mewarnai pola asuh orang tuanya yang berusaha
menghidupkan suasana kehidupan keluarga yang liberal. Masing-masing
anggota keluarganya mengembangkan visi dan arah pemikirannya ke berbagai
orientasi. Ia mempunyai seorang kakak perempuan yang tinggal di
Surakarta pada tahun 50-an yang hidup dengan penuh keguyuban, dan
seorang kakak laki-laki yang memimpin Serikat Buruh Kereta Api pada
tahun 20-an, ketika di Indonesia terbentuk berbagai Serikat Buruh.
Pada tahun 1911, saat para aktivis
ramai-ramai mendirikan organisasi, saat itu Kartosuwiryo berusia enam
tahun dan masuk Sekolah ISTK (Inlandsche School der Tweede Klasse) atau
Sekolah “kelas dua” untuk kaum Bumiputra di Pamotan. Empat tahun
kemudian, ia melanjutkan sekolah ke HIS (Hollandsch-Inlandsche School)
di Rembang. Tahun 1919 ketika orang tuanya pindah ke Bojonegoro, mereka
memasukkan Kartosoewirjo ke sekolah ELS (Europeesche Lagere School).
Bagi seorang putra “pribumi”, HIS dan ELS merupakan sekolah elite. Hanya
dengan kecerdasan dan bakat yang khusus yang dimiliki Kartosoewirjo
maka dia bisa masuk sekolah yang direncanakan sebagai lembaga pendidikan
untuk orang Eropa dan kalangan masyarakat Indo-Eropa.
Semasa remajanya di Bojonegoro inilah
Kartosuwiryo mendapatkan pendidikan agama dari seorang tokoh bernama
Notodihardjo yang menjadi “guru” agamanya. Dia adalah tokoh Islam modern
yang mengikuti Muhammadiyah. Tidak berlebihan ketika itu, Notodihardjo
sendiri kemudian menanamkan banyak aspek kemodernan Islam ke dalam alam
pikir Kartosuwiryo Pemikiran-pemikirannya sangat mempengaruhi bagaimana
Kartosuwiryobersikap dalam merespon ajaran-ajaran agama Islam. Dalam
masa-masa yang bisa kita sebut sebagai the formative age-nya.
Pada tahun 1923, setelah menamatkan
sekolah di ELS, Kartosoewirjo pergi ke Surabaya melanjutkan studinya
pada Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Sekolah Kedokteran
Belanda untuk Pribumi. Pada saat kuliah inilah (l926) ia terlibat dengan
banyak aktivitas organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di
Surabaya.
Selama kuliah Kartosuwiryo mulai
berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Islam. Ia mulai “mengaji” secara
serius. Saking seriusnya, ia kemudian begitu “terasuki” oleh
shibghatullah sehingga ia kemudian menjadi Islam minded. Semua
aktivitasnya kemudian hanya untuk mempelajari Islam semata dan berbuat
untuk Islam saja. Dia pun kemudian sering meninggalkan aktivitas kuliah
dan menjadi tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh
sekolah Belanda, tentunya setelah ia mengkaji dan membaca banyak
buku-buku dari berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu-ilmu
sosial dan politik.
Dengan modal ilmu-ilmu pengetahuan yang
tidak sedikit itu, ditambah ia juga memasuki organisasi politik Sjarikat
Islam di bawah pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto.
Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto banyak mempengaruhi sikap, tindakan
dan orientasi Kartosuwirjo. Maka setahun kemudian, dia dikeluarkan dari
sekolah karena dituduh menjadi aktivis politik, dan didapati memiliki
sejumlah buku sosialis dan komunis yang diperoleh dari pamannya yaitu
Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal
pada zamannya. Sekolah tempat ia menimba ilmu tidak berani menuduhnya
karena “terasuki” ilmu-ilmu Islam, melainkan dituduh “komunis” karena
memang ideologi ini sering dipandang sebagai ideologi yang akan
membahayakan. Padahal ideologi Islamlah yang sangat berbahaya bagi
penguasa yang zhalim. Tidaklah mengherankan, kalau Kartosuwirjo nantinya
tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kesadaran politik sekaligus
memiliki integritas keislaman yang tinggi. Ia adalah seorang ulama
besar, bahkan kalau kita baca tulisan-tulisannya, kita pasti akan
mengakuinya sebagai seorang ulama terbesar di Asia Tenggara.
Aktivitas Kartosuwiryo
Semenjak tahun 1923, dia sudah aktif
dalam gerakan kepemudaan, di antaranya gerakan pemuda Jong Java.
Kemudian pada tahun 1925, ketika anggota-anggota Jong Java yang lebih
mengutamakan cita-cita keislamannya mendirikan Jong Islamieten Bond
(JIB). Kartosoewirjo pun pindah ke organisasi ini karena sikap
pemihakannya kepada agamanya. Melalui dua organisasi inilah kemudian
membawa dia menjadi salah satu pelaku sejarah gerakan pemuda yang sangat
terkenal, “Sumpah Pemuda”.
Selain bertugas sebagai sekretaris umum
PSIHT (Partij Sjarikat Islam Hindia Timur), Kartosuwiryo pun bekerja
sebagai wartawan di koran harian Fadjar Asia. Semula ia sebagai
korektor, kemudian diangkat menjadi reporter. Pada tahun 1929, dalam
usianya yang relatif muda sekitar 22 tahun,Kartosuwiryo telah menjadi
redaktur harian Fadjar Asia. Dalam kapasitasnya sebagai redaktur,
mulailah dia menerbitkan berbagai artikel yang isinya banyak sekali
kritikan-kritikan, baik kepada penguasa pribumi maupun penjajah Belanda.
Ketika dalam perjalanan tugasnya itu dia
pergi ke Malangbong. Di sana bertemu dengan pemimpin PSIHT setempat yang
terkenal bernama Ajengan Ardiwisastera. Di sana pulalah dia berkenalan
dengan Siti Dewi Kalsum putri Ajengan Ardiwisastera, yang kemudian
dinikahinya pada bulan April tahun 1929. Perkawinan yang sakinah ini
kemudian dikarunia dua belas anak, tiga yang terakhir lahir di
hutan-hutan belantara Jawa Barat. Begitu banyaknya pengalaman telah
menghantarkan dirinya sebagai aktor intelektual dalam kancah pergerakan
nasional.
Pada tahun 1943, ketika Jepang berkuasa
di Indonesia, Kartosoewirjo kembali aktif di bidang politik, yang sempat
terhenti. Dia masuk sebuah organisasi kesejahteraan dari MIAI (Madjlis
Islam ‘Alaa Indonesia) di bawah pimpinan Wondoamiseno, sekaligus menjadi
sekretaris dalam Majelis Baitul-Mal pada organisasi tersebut.
Dalam masa pendudukan Jepang ini, dia pun
memfungsikan kembali lembaga Suffah yang pernah dia bentuk. Namun kali
ini lebih banyak memberikan pendidikan kemiliteran karena saat itu
Jepang telah membuka pendidikan militernya. Kemudian siswa yang menerima
latihan kemiliteran di Institut Suffah itu akhirnya memasuki salah satu
organisasi gerilya Islam yang utama sesudah perang, Hizbullah dan
Sabilillah, yang nantinya menjadi inti Tentara Islam Indonesia di Jawa
Barat.
Pada bulan Agustus 1945 menjelang
berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia, Kartosuwiryo yang disertai
tentara Hizbullah berada di Jakarta. Dia juga telah mengetahui kekalahan
Jepang dari sekutu, bahkan dia mempunyai rencana: kinilah saatnya
rakyat Indonesia, khususnya umat Islam, merebut kemerdekaannya dari
tangan penjajah. Sesungguhnya dia telah memproklamasikan kemerdekaan
pada bulan Agustus 1945. Tetapi proklamasinya ditarik kembali sesudah
ada pernyataan kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Untuk
sementara waktu dia tetap loyal kepada Republik dan menerima dasar
“sekuler”-nya.
Namun sejak kemerdekaan RI
diproklamasikan (17 Agustus 1945), kaum nasionalis sekulerlah yang
memegang tampuk kekuasaan negara dan berusaha menerapkan prinsip-prinsip
kenegaraan modern yang sekuler. Semenjak itu kalangan nasionalis Islam
tersingkir secara sistematis dan hingga akhir 70-an kalangan Islam
berada di luar negara. Dari sinilah dimulainya pertentangan serius
antara kalangan Islam dan kaum nasionalis sekuler. Karena kaum
nasionalis sekuler mulai secara efektif memegang kekuasaan negara, maka
pertentangan ini untuk selanjutnya dapat disebut sebagai pertentangan
antara Islam dan negara.
Situasi yang kacau akibat agresi militer
kedua Belanda, apalagi dengan ditandatanganinya perjanjian Renville
antara pemerintah Republik dengan Belanda. Di mana pada perjanjian
tersebut berisi antara lain gencatan senjata dan pengakuan garis
demarkasi van Mook. Sementara pemerintah RI harus mengakui kedaulatan
Belanda atas Indonesia, maka menjadi pil pahit bagi Republik.
Tempat-tempat penting yang strategis bagi pasukannya di daerah-daerah
yang dikuasai pasukan Belanda harus dikosongkan, dan semua pasukan harus
ditarik mundur –atau “kabur” dalam istilah orang-orang DI– ke Jawa
Tengah. Karena persetujuan ini, Tentara Republik resmi dalam Jawa Barat,
Divisi Siliwangi, mematuhi ketentuan-ketentuannya. Soekarno menyebut
“kaburnya” TNI ini dengan memakai istilah Islam, “hijrah”. Dengan
sebutan ini dia menipu jutaan rakyat Muslim. Namun berbeda dengan
pasukan gerilyawan Hizbullah dan Sabilillah, bagian yang cukup besar
dari kedua organisasi gerilya Jawa Barat, menolak untuk mematuhinya.
Hizbullah dan Sabilillah lebih tahu apa makna “hijrah” itu.
Pada tahun 1949 Indonesia mengalami suatu
perubahan politik besar-besaran. Pada saat Jawa Barat mengalami
kekosongan kekuasaan, maka ketika itu terjadilah sebuah proklamasi
Negara Islam di Nusantara, sebuah negeri al-Jumhuriyah Indonesia yang
kelak kemudian dikenal sebagai ad-Daulatul Islamiyah atau Darul Islam
atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai
DI/TII. DI/TII di dalam sejarah Indonesia sering disebut para pengamat
yang fobi dengan Negara Islam sebagai “Islam muncul dalam wajah yang
tegang.” Bahkan, peristiwa ini dimanipulasi sebagai sebuah
“pemberontakan”. Kalaupun peristiwa ini disebut sebagai sebuah
“pemberontakan”, maka ia bukanlah sebuah pemberontakan biasa. Ia
merupakan sebuah perjuangan suci anti-kezhaliman yang terbesar di dunia
di awal abad ke-20 ini. “Pemberontakan” bersenjata yang sempat menguras
habis logistik angkatan perang Republik Indonesia ini bukanlah
pemberontakan kecil, bukan pula pemberontakan yang bersifat regional,
bukan “pemberontakan” yang muncul karena sakit hati atau kekecewaan
politik lainnya, melainkan karena sebuah “cita-cita”, sebuah “mimpi”
yang diilhami oleh ajaran-ajaran Islam yang lurus.
Akhirnya, perjuangan panjang Kartosuwiryo
selama 13 tahun pupus setelah Kartosoewirjo sendiri tertangkap.
Pengadilan Mahadper, 16 Agustur l962, menyatakan bahwa perjuangan suci
Kartosoewirjo dalam menegakkan Negara Islam Indonesia itu adalah sebuah
“pemberontakan”. Hukuman mati kemudian diberikan kepada mujahid
Kartosuwiryo
Tentang kisah wafatnya Kartosoewirjo,
ternyata Soekarno dan A.H. Nasution cukup menyadari bahwa Kartosoewirjo
adalah tokoh besar yang bahkan jika wafat pun akan terus dirindukan
umat. Maka mereka dengan segala konspirasinya, didukung Umar
Wirahadikusuma, berusaha menyembunyikan rencana jahat mereka ketika
mengeksekusi Imam Negara Islam ini.
Sekalipun jasad beliau telah tiada dan
tidak diketahui di mana pusaranya berada karena alasan-alasan tertentu
dari pemerintahan Soekarno, tapi jiwa dan perjuangannya akan tetap hidup
sepanjang masa. Sejarah Indonesia telah mencatat walaupun dimanipulasi
dan sekarang bertambah lagi dengan darah mujahid Asy-syahid S.M.
Kartosoewirjo. HARI INI KAMI MENGHORMATIMU, BESOK KAMI BERSAMAMU! Insya
Allah. Itulah makna dari firman Allah: “Dan janganlah kamu mengatakan
terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu mati);
bahkan sebenarnya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya”.
(QS. 2:154). CAPUNK/ KN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar